RSS

Senin, 20 Agustus 2012

• Dia I : Pagi Hari, Di Hari Sabtu

"08.15"

Bunyi suara alarm pagi membangunkanku. Sial, rupanya aku lupa mematikan alarm di ponselku tadi malam. Hari ini 'kan hari Sabtu. Buat apa aku bangun sepagi ini di hari libur, gumamku jengkel.

Ku coba menarik nafas dalam - dalam, berusaha mengumpulkan kembali kesadaranku. Ku tatap keadaan sekeliling kamar dengan mata yang setengah terpejam dan sesekali menguap lebar. Aku tahu kalau aku masih mengantuk.

Ku putuskan untuk tidur lagi dan memejamkan mata. 5 menit.., 10 menit.., Ku coba membalikkan badan, ke kanan dan ke kiri sambil memeluk guling kesayanganku, tapi hasilnya nihil. Meski mataku terpejam, tapi upayaku untuk tertidur gagal. Aku tak bisa kembali lagi ke alam mimpi..

Aku menyerah! Kalau memang tidak bisa tidur lagi, tidak perlu kupaksakan. Toh, setelah ku pikir - pikir, bangun lebih awal di pagi hari bukanlah suatu hal yang buruk.

Tak lama, bunyi suara hujan mengguyur dengan deras. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur, dan menuju ke arah jendela. Kubuka lebar - lebar pintu jendela, membiarkan angin dan sedikit air hujan masuk ke dalam kamar.

Aku tersenyum kecil.. Aku suka bau hujan. Terutama hembusan angin yang membawa bau basah masuk ke dalam ruangan. Rasanya segar ketika kuhirup, dan secara perlahan mampu menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa.

Mataku memandang derasnya air hujan yang jatuh ke aspal. Tatapanku menerawang jauh. Kata orang, hujan memiliki aroma yang dapat membuat orang mengingat kembali masa lalunya. Aku terhenyak sesaat.

Pikiranku mengingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu, yang masih teringat dengan jelas di dalam ingatanku. Potongan - potongan kejadian menyatu, bak puzzle yang selesai terpasang, membuat diriku mengingat kembali sosok yang pernah hadir menemani hari - hariku, dulu kala.

Ya, aku teringat akan sosoknya..
Sosok yang beberapa minggu belakangan ini aku rindukan..

Seketika aku mengingat lagi pertengkaran hebat yang terjadi diantara kami. Pertengkaran yang bisa dibilang sebagai penyebab putusnya hubungan antara aku dan dia.. Tepatnya malam itu, di bulan Maret..

*** *** ***

"CUKUP! Aku sudah cukup mengalah sama semua keegoisan kamu!" Teriaknya, dengan sedikit membentak kepadaku.

Aku terdiam mendengar bentakannya. Rasanya, selama ini belum pernah dia berani membentakku seperti itu.

"Dengar ya, aku bukan seekor Anjing yang bisa kamu maki seenak jidat kamu! Dan aku bukan boneka yang bisa kamu atur semau - mau kamu!" Bentaknya lagi.

Kedua matanya menatapku dengan tajam. Seolah - olah, aku adalah orang yang paling dia benci saat ini. Namun aku tetap tidak bergeming dan diam seribu bahasa. Mataku pun berusaha untuk menghindari kontak matanya.

"JAWAB!" Kali ini suaranya terdengar begitu nyaring di telinga, membuat kesabaranku semakin menipis.

Ku palingkan pandanganku ke arahnya, dan menatap langsung ke arah matanya yang terlihat begitu nanar menatapku.

Aku tersadar, saat ini diam tidak akan menyelesaikan masalah. Semakin aku diam, semakin murka dirinya. Ku coba mengumpulkan emosi untuk membalas segala perkataan yang dia tujukan dan menepis semua pernyataan yang di arahkan padaku.

"Dengar ya, aku juga bukan manusia yang punya kesabaran lebih menghadapi sifat kekanakan kamu!" Kataku dengan lantang.

"Siapa yang ngatain kamu Anjing! Apa pernah aku ngatain kamu Anjing!" Lanjutku.

Baru sedikit aku bisa berkata - kata, dia langsung membalasnya..

"Kamu pikir, aku enggak capek dengan segala keegoisan kamu?" Balasnya lagi.

"Aku egois apa? Coba sebutin, aku egois apa?!" Jawabku yang tak mau kalah.

"Enggak perlu aku jelasin satu persatu! Kamu sudah cukup dewasa untuk mengenal siapa diri kamu! Denger ya, aku capek dengan sifat kamu yang serba enggak jelas dan seenaknya sendiri, tahu!" Lanjutnya.

"Wow"! Pikirku. Aku tersentak mendengar ucapan yang baru saja di lontarkan dari mulutnya. Aku seenaknya sendiri katanya? Sejak kapan? Bukankah dia tahu, kalau aku selalu mementingkan dia dibanding yang lain. Lagipula, aku bukanlah orang yang egois. Yang semau - maunya dalam bertindak. Tidak, kedewasaanku jauh lebih besar dibanding itu! 

Seseorang nampaknya harus berkaca dan sedikit intropeksi. Kata - kata tadi harusnya ditujukan untuk dirinya sendiri, bukan aku!

"Aku enggak suka sama orang yang tertutup..." Kali ini, dia menurunkan nada bicaranya, dan kembali berbicara dengan nada normal.

"Mungkin aku terlalu perfeksionis..." Ucapnya pelan.

Kami berdua sama - sama terdiam dan tidak menatap satu sama lain. Namun sesekali aku mencoba mencuri pandang ke arahnya, yang menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Entah, apa yang ada di pikirannya saat ini. 

Pada saat ini, sungguh aku ingin menghentikan segala pertengkaran dan semua omong kosong ini dan memeluknya.

Namun mulutku tertutup rapat, seolah tak mampu lagi berbicara dan mengeluarkan sepatah kata setelah di serang dengan pernyataan yang bertubi - tubi olehnya.

Aku sadar kalau dia adalah orang yang sangat perfeksionis. Dalam artian, semua harus berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tidak ada yang boleh cacat ataupun salah sedikitpun. Awalnya aku pikir, aku bisa menerima pola pikirnya yang demikian. Dan memang, aku harus membiasakan diri dengan sifatnya yang seperti itu ketika berpacaran dengannya. 

Diriku yang mengerti dengan pola pikirnya, membuatku beradatapsi dengan cepat dengan aturannya dalam berpacaran. Mungkin pada awalnya, aku begitu naif dan belum sadar benar, akan apa arti kebebasan dalam suatu hubungan.

Namun lama kelamaan, aku merasa terkekang dengan sifatnya. Aku tidak sanggup lagi menghadapi sikapnya yang tempramental dan semakin lama semakin banyak menuntut sehingga membatasi ruang gerakku. Bahkan, hal yang sepele bisa membuat kami bertengkar dengan hebatnya.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, aku begitu menyayanginya. Dan aku selalu berusaha untuk memaklumi sifat dia yang seperti itu. Meski kebebasanku harus terpenjara dalam rasa pengertianku, dan pilihanku terbatasi oleh sikapnya yang terlalu mengatur..

Aku bosan! Aku jengah! Aku tidak bisa begini terus! Hal inilah yang membuatku terkadang menjadi tidak jujur dan menutup diri kepadanya. Aku selalu berusaha memaksa diriku sendiri dengan beranggapan kalau aku harus bisa menerima dia apa adanya. Tapi semakin lama, aku tidak melihat usaha yang sama seperti apa yang kuberikan untuknya. Malah dia semakin egois, ingin menang sendiri dan tidak memberiku kesempatan untuk memiliki hak yang sama di dalam hubungan ini.

Dan sekarang aku berada di satu titik, dimana aku ingin kembali bebas bergerak dan pergi melangkah kemanapun aku mau, mengikuti naluriku.

"Aku capek.." Ujarku lirih. Kata - kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Pikiranku yang penuh akan banyak hal yang menyangkut kami berdua, dan hatiku yang begitu lelah untuk selalu menuruti segala kemauan dia, membuatku melontarkan kata kata itu tanpa aku sadari. Ucapanku memecah heningnya atmosfir dan suasana tegang di antara kami berdua.

"Maksudnya?" Tanyanya mencoba mencari kejelasan.

"Iya, aku capek.. Aku menyerah akan sikap kamu yang terus terusan seperti ini. Aku capek bertengkar setiap hari hanya karena masalah sepele. Aku udah enggak kuat dengan rasa kecurigaan kamu yang berlebihan, yang membuat aku sulit untuk bergerak. Aku enggak bisa kayak begini terus.." Jawabku pelan.

"Aku.. Aku ingin break..." Tutupku.

Ekspresi mukanya langsung berubah begitu mendengar ucapanku barusan. Perasaan kaget terlihat jelas dari tampangnya. Namun, dia tetap menatapku dengan tatapan tajam. Kedua tangannya membasuh mukanya sambil menghela nafas panjang.

"Kamu menyerah sama hubungan kita?" Ucapnya pelan.

Kali ini dia melunak. Sesekali dia menarik nafas. Tidak nampak lagi emosi di raut wajahnya. Yang ada hanyalah ekspresi kusut dari seseorang yang baru saja menumpahkan amarahnya padaku. Akupun terdiam, tak langsung menjawab.

Hatiku berkata untuk meneruskan kembali hubungan ini dan melupakan semua pertengkaran yang terjadi. Toh, pertengkaran itu wajar pada semua pasangan. Dan aku tahu, hubungan ini masih bisa diselamatkan, asalkan aku dan dia tetap pada komitmen awal; saling menyayangi dan saling setia satu sama lain.

Namun, kali ini logika ku berbisik kencang. Seolah - olah memberontak dan memaksa keluar dari cangkang yang selama ini menutupnya. Akal sehatku seperti meletup, mencoba mengalahkan rasa sayangku pada pacarku yang telah berhasil menguncinya rapat rapat.

Ya, aku ingin bebas! Aku ingin terlepas dari segala drama yang sudah melekat sehari - hari setelah aku berstatus sebagai pacarnya. Aku ingin sendiri untuk sementara waktu ini..

Aku menghela nafas panjang. Berusaha memberanikan diri untuk mengucapkan kata - kata yang hendak ku ucapkan. Dia menatapku, menungguku jawabanku.

"Mungkin aku mau sendiri dulu..." Jawabku pendek.

Suasana tegang kembali menyelimuti kami. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini begitu mendengar jawabanku tadi. Khawatir aku malah membuat dia semakin emosi.

Tak lama kemudian, tanpa kusangka dia tersenyum kecil disertai dengan beberapa anggukan kecil, seolah dia mengerti. Kecil, namun terlihat tulus.. Seperti menandakan bahwa dia menerima keputusanku. Aku membalas senyumannya dengan tersenyum kecut sambil menunduk. Sesekali kumainkan jemariku, menggosok gosoknya, seolah ada kotoran yang menempel, padahal tidak ada apa - apa sama sekali.

Dia pun begitu. Kakinya menghentak - hentak lantai, seperti sedang terburu buru untuk pergi. Aku amati dia dari tempat dudukku, sambil tersenyum dalam hati. Aku baru sadar, dia terlihat agak kurusan. Aku tahu dia begitu lelah dengan pekerjaannya sebagai Flight Attendant. Tak luput tekanan dari keluarganya di Bali yang ingin melihat dia bisa sukses, terutama Mamanya. 

Lelah, capek dan begitu banyak pikiran.. Mungkin faktor - faktor itulah yang membuat dia nampak kurus sekarang ini.

"Ya sudah kalau begitu.." Jawabnya tiba - tiba.

Pandanganku langsung tertuju kepadanya. Dia berdiri dari tempat duduknya, dan dengan tersenyum, dia menuju ke arahku.

"Aku pulang dulu..." Ucapnya, meminta izin padaku untuk pulang. Kuraih tangan kanannya yang mengenakan arloji. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Astaga Tuhan! Lebih dari 1,5 jam sudah kami bertengkar. Waktu berjalan begitu cepat tanpa kusadari, terutama untuk hal - hal seperti ini.

Aku mengangguk, membalas senyumannya. Ku dekap badannya dan ku peluk dengan erat sebelum dia pergi. Dia pun membalas pelukanku, dan mengusap usap kepalaku, membuat rambutku sedikit berantakan.

"Kabarin aku kalau sudah sampai di Apartment.." Kataku.

"Iya.." Jawabnya.

Kulepas pelukanku dan kucium pipinya sebagai salam perpisahan. Dia membalasnya dengan mencium keningku. Lama sekali, sampai akhirnya dia melepaskan ciumannya.

"Hati - hati di jalan.." Ujarku padanya.

Dia tidak menjawab. Hanya mengangguk kecil, menaikkan alis dengan ekspresi muka yang begitu datar dan mengacungkan jempolnya, kemudian membuka pintu kamarku, dan beranjak pergi.

*** *** ***

0 komentar:

Posting Komentar